– HARLEM HELLFIGHTERS –
Semasa Perang Dunia I, hampir 380.000 orang
Afro-Amerika bertugas di Angkatan Bersenjata A.S. Kebanyakan dari mereka
bertugas di Divisi ke-92 dan 93. Meskipun tidak ada politik perbedaan ras yang
tergaris bawahi dalam perekrutan wajib militernya, tetapi setelah masuk,
tentara sukarela Afro-Amerika ini disuruh untuk menyobek sedikit bagian pojok
dari kartu identitas mereka untuk menandai bahwa mereka adalah orang kulit
hitam, bukan orang kulit putih.
Unit
yang sepenuhnya berisi orang kulit hitam ini biasanya dipimpin oleh petugas
kulit putih, dan mereka ditugaskan untuk melakukan misi non-combat, semisal
menggali parit, membuat jalan, dan menyuplai garis depan. Dari seluruh perjalanan
perang, hanya satu dari sepuluh unit Afro-Amerika yang bertugas dalam aksi
peperangan. Resimen infanteri ke-369 dari Divisi 93 adalah unit tersebut,
dijuluki Halem Hellfighters. Mereka dikirim ke Prancis pada Desember 1917.
Aslinya, mereka ditujukan agar ditempatkan sebagai penjaga sisi, tetapi
keberuntungan mereka berubah ketika Jenderal John Pershing menempatkan mereka
ke Divisi ke-16 pada Pasukan Militer Prancis. Tentara Prancis, tidak seperti
orang Amerika, sangat senang mendapat sukarelawan yang mau bertarung, tidak
peduli apa etnisnya.
Maret
1918, resimen ini mulai berlatih dibawah komando Prancis. Meskipun tugas
tentara ini diharapkan sebagai tugas sementara, tetapi anggota resimen 369
dikemudian hari tidak pernah lagi bertugas dibawah komando Amerika selama
perang, dan saat musim panas mereka berperang di laga pertahanan
Champagne-Marne, juga ofensif di Aisne-Marne. Harlem Hellfighters dikenal
sebagai pasukan yang keras kepala dan seringkali menolak perintah atasannya
untuk mundur. Jika sudah bertempur, mereka tidak akan mau mundur sejengkal pun
dari posisinya. Hal ini dengan cepat membuat namanya melambung menjadi salah
satu pasukan yang paling dihormati sekutu dan paling ditakuti lawan. Pihak
Jerman-lah yang secara orisinil memberi nama “Harlem Hellfighters” untuk
resimen 369 ini.
Sedangkan
sekutu mereka, yakni Prancis, memberi mereka julukan lain; “The Men of Bronze”.
Pasukan kulit hitam ini menghabiskan 191 hari berturut-turut di front depan,
dan tercatat sebagai waktu bertugas yang paling lama dari resimen Amerika
lainnya pada waktu itu. Selama ofensif Meuse-Argonne yang dimulai pada 26
September 1918, Harlem Hellfighters mengambil alih kota kecil Ripon dan di hari
berikutnya berhasil mendorong musuh sampai sejauh satu kilometer. Pada akhir bulan,
mereka maju sampai posisi kritis dekat Sechault, dan mengambil kunci
persimpangan jalan kereta. Dalam aksi tersebut, mereka harus mengorbankan 851
orangnya yang tewas atau luka-luka. Sebagai penghargaan keberanian mereka,
medali keberanian pun diberikan kepada 171 orang anggota Harlem Hellfighters,
sementara yang lainnya (keseluruhan resimen) menerima “Croix de Guerre” dari
pemerintah Prancis.
Di
luar peperangan, Harlem Hellfighters menghibur sahabat tentara Eropa mereka
dengan memainkan musik Jazz dan musik ragtime Amerika. Mereka punya band yang
bernama 369th Jazz Band, atau dikenal juga dengan Hellfighters, band ini
dipimpin oleh James Reese Europe. Setelah berakhirnya perang besar tersebut,
band Jazz Hellfighters ikut ambil bagian dalam parade kemenangan di Fifth
Avenue, New York, diiringi lebih dari satu juta orang penggemar mereka. Tahun
berikutnya, orang-orang menyambut para prajurit pemberani ini pulang ke rumah.
Terlepas
dari tersohornya keberanian mereka, kehidupan sehari-hari mereka di Amerika
tidak banyak berubah. Tragedi ‘Red Summer’ yang menyeramkan pada 1919 menjadi
saksi meletusnya kerusuhan anti-kulit hitam yang berkobar di 26 kota.
Pembersihan etnis kulit hitam dan hukuman mati tanpa pengadilan sedang
tinggi-tingginya di Amerika pada saat itu. Paling tidak, 10 dari 77 korban
hukuman mati yang tidak adil itu adalah para veteran perang, dan bahkan ketika
dibunuh, para veteran ini tengah mengenakan seragam kebanggaan mereka. Sedih
bagi masyarakat kulit hitam, bahwa untuk mencapai hak persamaan etnis mereka,
Amerika mesti berjuang sampai satu perang lagi (PD2), serta harus melewati
dekade penuh pro kontra sebelum akhirnya bisa mencapai hak-hak yang seharusnya
sudah bisa mereka nikmati. Faktanya, militer Amerika Serikat masih
memberlakukan sistem “pemisahan” warna kulit sampai tahun 1948. Dan jejak
kepahlawanan kulit hitam baru dibahas akhir-akhir ini saja. Pada tahun 2014,
undang-undang baru membahas tentang Sersan Henry Johnson yang bertugas di dalam
resimen 369 untuk diberikan ‘Medal of Honor’ sebagai tanda hormat aksinya
selama Perang Dunia 1. Karena rasisme di dalam Kemiliteran Amerika, banyak
prajurit pemberani Afro-Amerika tidak mendapatkan penghargaan untuk pelayanan
yang mereka berikan selama Perang Dunia Pertama. Padahal, sejarah mencatat,
dari mereka yang gugur di pertempuran, 169 orang berasal dari resimen 369.
Mereka dikubur di pemakaman ABMC. Kebanyakan dari mereka dikubur juga di
Meuse-Argonne, Aisne-Marne, Oise-Aisne, St. Mihiel dan Suresnes. Pemakaman ABMC
adalah pemakaman yang terpadu, bahwa ras dan pangkat tidak berpengaruh.
Prajurit hitam bisa saja diapit oleh makam dua prajurit putih atau sebaliknya.
Karena jika di saat peristirahatan terakhir saja mereka masih mendapat
pemisahan, itu sungguh keterlaluan.
FOTO:
Pasukan
dari resimen 369 yang mendapat penghargaan Croix de Guerre karena keberanian
mereka(1919). Kiri ke kanan, barisan depan : Pvt. Ed
Williams, Herbert Taylor, Pvt. Leon Fraitor, Pvt. Ralph Hawkins. Barisan
belakang : Sgt. H. D. Prinas, Sgt. Dan Storms, Pvt. Joe Williams, Pvt. Alfred
Hanley, and Cpl. T. W. Taylor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dengan segala hormat, silahkan berkomentar dengan sopan. mengingat sabda Rasulullah (SAW); "Bicaralah dengan kata-kata yang baik, atau tetap diam."