Pasukan horde Mongolia abad
ke-13 adalah satu dari monster perang yang pernah memporak-porandakan bumi. Mereka
menyapu Asia dan Eropa, menguasai Rusia dan memecahkan berkeping-keping setiap
perlawanan yang mencoba menghentikan mereka. Setelah Mongolia dibangkitkan oleh
Genghis Khan, kini cucunya yang memimpin. Mereka menggabungkan kecerdikan
berikut dengan jumlah pasukannya. Reputasi mereka begitu mengerikan
sampai-sampai ketika mereka melakukan mars menuju front Barat,
Kerajaan-kerajaan Eropa yang sedang berperang satu sama lainnya, langsung
mengesampingkan konflik mereka dan bersatu untuk melawan invasi Mongol
tersebut. Pada akhirnya pun, didapati bahwa kampanye militer Mongolia atas
Eropa terbukti sulit. Pasukan berkuda ringan mereka yang telah menjadi aset
terhebat di Asia, memperlihatkan kelemahannya di tengah hutan lebat Eropa yang
becek dan berlumpur. Apalagi adanya persatuan kerajaan Eropa yang berdiri untuk
melawan mereka. Ketika pemimpin Mongolia jatuh sakit dan mati, para penyerang
ini pun tidak punya pilihan selain untuk pulang kembali ke kampung halamannya
dan memahkotai pemimpin baru.
Pemimpin baru mereka, Mongke
Khan, tidak terlalu berminat untuk kembali ke Eropa. Sebagai gantinya, ia
menengok “hadiah” baru untuk pasukannya, yakni adalah Timur Tengah. Lima tahun
dibutuhkan bagi Mongke Khan untuk mengumpulkan pasukannya ke tingkat kekuatan
penuh. Ketika sampai akhirnya ia puas dengan jumlah pasukannya, ia menunjuk
adiknya, Hulagu Khan, untuk memimpin pasukannya tersebut. Mongke Khan
menginstruksi Hulagu, agar ia memberi ampun kepada lawan yang sudah menyerah.
Hulagu mengiyakan keinginan sang pemimpin dan dimulailah penyapuannya untuk
kekuasaan Mongolia. Banyak negeri yang tunduk di hadapan pasukan ini. Mereka
yang mencoba menghalangi jalannya pun, segera ditundukkan. Negeri-negeri
tersebut takut serta terkesima akan kekuatan pasukan Mongolia, mereka ingin
menjadi aman dengan bergabung di dalamnya. Atas dasar ini, negeri-negeri
tersebut pun menawarkan pasukan mereka untuk bertempur di dalam barisan bangsa
Mongol.
Sejarah mencatat ketika Hulagu
mencapai Baghdad, ia telah memiliki banyak macam bangsa di dalam pasukannya,
bahkan termasuk juga beberapa Ksatria Frankish. Dengan kekuatan seperti itu,
semua yang ia lewati pun jatuh. Persia, Baghdad, Damaskus, semua kekuatan besar
di Timur Tengah runtuh di hadapan serangan hebat Mongolia. Mereka yang tidak menyerah
akan ditundukkan secara brutal. Invasi ini terlihat bak tidak bisa dihentikan
lagi.
Dengan reputasi kekuasaan yang
telah ia miliki di Timur Tengah, Hulagu seharusnya meyakinkan negeri yang masih
tersisa untuk menyerah saja daripada menjadi korban seperti para tetangganya
ini. Maka itu ia mengirim duta ke Mesir. Hulagu siap untuk mendengar penyerahan
Mesir ketika dutanya dikirim ke Kairo, tempat dimana Sultan Mameluk Mesir,
Qutuz, telah menunggunya. Sang duta Mongolia itu menggaris bawahi, bahwa jika Mesir
tidak menyerah maka mereka akan berhadapan dengan pembantaian tanpa ampun dari
Hulagu Khan. Mendengar ini, penasihat dan anggota majelis Qutuz pun mendesaknya
agar menerima syarat dari sang Khan agar Mesir tunduk di dalam kekuasaan
Mongolia.
Qutuz menjawabnya dengan aksi.
Ia membunuh duta tersebut dan memajang kepalanya di atas tembok kota. Ketika
kabar datang ke telinga Hulagu, amarahnya pun naik. Bagi Hulagu dan pasukan
Mongolnya yang kejam, mengirim duta ke lawan adalah suatu penghormatan dan kebaikan
yang cukup. Tetapi ketika Qutuz menjawabnya dengan kematian, ini sudah
melampaui batas penghinaan. Ia menyiapkan pasukannya, melebihi pasukan Qutuz
sepuluh banding satu, kemudian mars menuju Kairo. Tetapi di sini terjadilah hal
yang tak terduga. Datang kabar dari kampung halaman, bahwa Mongke Khan jatuh
sakit. Ia tengah sekarat menjemput kematiannya dan pemimpin penerusnya sedang
dipilih. Hulagu merasa dirinya adalah yang paling pantas untuk menempati
singgasana kakaknya itu. Untuk hal ini, ia pun mundur dan membawa serta
sebagian besar pasukan bersamanya. Ia harus pulang untuk mengamankan gelarnya.
Mesir bisa menunggu nanti.
Dalam absennya, ia meninggalkan
jenderalnya di Timur Tengah, bernama Kitbuqa untuk membawahi pasukan Mongolia
yang relatif kecil. Ketika sang Sultan di Kairo mendengar bahwa pasukan musuh
telah dibagi dua, ia pun tidak membuang waktu. Qutuz membentuk pasukannya
sendiri dan pergi keluar untuk bertemu langsung dengan Kitbuqa. Pasukan
Mongolia yang lemah mendatangi Ksatria Salib yang masih berada di Timur Tengah,
ia mendesak para Ksatria agar membentuk aliansi dengan mereka melawan “satu
musuh yang sama”. Awalnya, para kristen itu tidak yakin. Mereka takkan lupa
dengan peristiwa invasi Mongolia ke Eropa—takkan pernah lupa. Tetapi di lain
sisi, pasukan Islam telah menjadi musuh mereka selama berabad-abad. Di sini
letak keunikan alur cerita dalam sejarah pun terbukti, bahwa peraturan yang
dikeluarkan dari Paus mencapai telinga pemimpin Ksatria Salib di Acre. Dekrit
sang Paus adalah ;
“Pasukan
Kristen dilarang (dengan cara apapun, alasan apapun) untuk membantu Mongol.”
Pada akhirnya, para Ksatria
Salib mengambil jalan netral antara kedua kubu. Yang luar biasa dari mereka
adalah, mereka membolehkan pasukan Sultan untuk melewati daerahnya dengan aman,
bahkan membolehkan pasukan Mesir beristirahat dan mengisi suplai mereka. Qutuz
menggunakan keunggulan ini secara penuh, sebelum langsung menuju ke pasukan
Mongolia yang tersisa.
Akhirnya, kedua pasukan bertemu
di lembah Jezreel, dekat mata air Ain Jalut. Reputasi pasukan Mongolia yang
setelah bertahun-tahun tidak dapat dihentikan, akhirnya pada kesempatan ini
bisa bertemu dengan lawan yang setimpal.
Kitbuqa maju duluan. Qutuz
mengirim seporsi pasukan kecilnya di bawah kepemimpinan dari sekutunya, prajurit
Mameluk Baibars. Sebagian besar pasukan Sultan bersembunyi diantara pepohonan
di tanah yang lebih tinggi. Baibars tahu benar daerah tersebut dan berjasa
sebagai pencetus strategi untuk pasukan Mesir. Baibars menyerang, kemudian
mundur. Ia beberapa kali memundurkan pasukannya dari lapangan. Mundur terus dan
terus seolah menjauh dari pasukan Mongol yang terus mengejar. Seorang yang
bijak pasti akan berpikir bahwa aksi ini adalah jebakan, tetapi tidak untuk
Kitbuqa. Ia terus saja mengejar pasukan Baibars sampai ke daratan yang lebih
tinggi, di mana Qutuz telah menunggunya.
Keluarlah pasukan Sultan dengan
kekuatan penuh. Kitbuqa dan pasukannya dikelilingi dari segala sudut. Mereka
bertarung dengan ganas untuk keluar dari jebakan itu tetapi tidak berhasil.
Akhirnya barisan sayap Mongolia digerogoti dan orang-orang yang tersisa berlari
putus asa, mencoba untuk kabur.
Di saat itu, Sultan sendiri
masih terpisah dari pasukannya yang mengepung Mongol. Ia mengawasi dan
mempelajari apa yang ia lihat dari sebuah bukit tak jauh dari sana, dijaga oleh
legiun pribadinya. Ketika mendapati sayap kiri Mongolia mulai runtuh, ia tahu
disanalah saat yang tepat untuk menekan keunggulannya. Sang Sultan melepas helm
tempurnya agar pasukannya mengenalinya, ia berteriak, “Oh, Islamku!”—sambil memacu kudanya ke depan, sendirian, menuju
jantung pertempuran. Pasukannya, melihat sang Sultan berlari sendirian menuju
medan tempur, langsung bersemangat dan berkumpul di belakang sang Sultan dan
ikut memacu kuda mereka menuju sayap pasukan Mongol yang telah rusak. Dalam
peristiwa pembantaian besar itu, pasukan Mongol yang dulunya terkenal tak terkalahkan,
kini lari tunggang langgang. Mereka dikejar, dan setiap usaha perlawanan dari
mereka, akan segera dihancurkan. Pada akhirnya pun Kitbuqa sendiri dibunuh,
menandai selesainya percobaan ekspansi Mongolia ke Timur Tengah.
Pertempuran Ain Jalut adalah salah
satu pertempuran awal untuk membuktikan bahwa pasukan Mongol yang mengerikan
itu tidak seutuhnya kebal. Di bawah taktik yang tepat dan kepemimpinan yang
baik, mereka nyatanya bisa dihentikan.
Patung kepala yang menggambarkan wajah Qutuz (kiri) dan Baibars (kanan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dengan segala hormat, silahkan berkomentar dengan sopan. mengingat sabda Rasulullah (SAW); "Bicaralah dengan kata-kata yang baik, atau tetap diam."