Senin, 02 Januari 2017

KISAH SAAT MONGOLIA DIPUKUL MUNDUR DI AIN JALUT




Pasukan horde Mongolia abad ke-13 adalah satu dari monster perang yang pernah memporak-porandakan bumi. Mereka menyapu Asia dan Eropa, menguasai Rusia dan memecahkan berkeping-keping setiap perlawanan yang mencoba menghentikan mereka. Setelah Mongolia dibangkitkan oleh Genghis Khan, kini cucunya yang memimpin. Mereka menggabungkan kecerdikan berikut dengan jumlah pasukannya. Reputasi mereka begitu mengerikan sampai-sampai ketika mereka melakukan mars menuju front Barat, Kerajaan-kerajaan Eropa yang sedang berperang satu sama lainnya, langsung mengesampingkan konflik mereka dan bersatu untuk melawan invasi Mongol tersebut. Pada akhirnya pun, didapati bahwa kampanye militer Mongolia atas Eropa terbukti sulit. Pasukan berkuda ringan mereka yang telah menjadi aset terhebat di Asia, memperlihatkan kelemahannya di tengah hutan lebat Eropa yang becek dan berlumpur. Apalagi adanya persatuan kerajaan Eropa yang berdiri untuk melawan mereka. Ketika pemimpin Mongolia jatuh sakit dan mati, para penyerang ini pun tidak punya pilihan selain untuk pulang kembali ke kampung halamannya dan memahkotai pemimpin baru.

Pemimpin baru mereka, Mongke Khan, tidak terlalu berminat untuk kembali ke Eropa. Sebagai gantinya, ia menengok “hadiah” baru untuk pasukannya, yakni adalah Timur Tengah. Lima tahun dibutuhkan bagi Mongke Khan untuk mengumpulkan pasukannya ke tingkat kekuatan penuh. Ketika sampai akhirnya ia puas dengan jumlah pasukannya, ia menunjuk adiknya, Hulagu Khan, untuk memimpin pasukannya tersebut. Mongke Khan menginstruksi Hulagu, agar ia memberi ampun kepada lawan yang sudah menyerah. Hulagu mengiyakan keinginan sang pemimpin dan dimulailah penyapuannya untuk kekuasaan Mongolia. Banyak negeri yang tunduk di hadapan pasukan ini. Mereka yang mencoba menghalangi jalannya pun, segera ditundukkan. Negeri-negeri tersebut takut serta terkesima akan kekuatan pasukan Mongolia, mereka ingin menjadi aman dengan bergabung di dalamnya. Atas dasar ini, negeri-negeri tersebut pun menawarkan pasukan mereka untuk bertempur di dalam barisan bangsa Mongol.

Sejarah mencatat ketika Hulagu mencapai Baghdad, ia telah memiliki banyak macam bangsa di dalam pasukannya, bahkan termasuk juga beberapa Ksatria Frankish. Dengan kekuatan seperti itu, semua yang ia lewati pun jatuh. Persia, Baghdad, Damaskus, semua kekuatan besar di Timur Tengah runtuh di hadapan serangan hebat Mongolia. Mereka yang tidak menyerah akan ditundukkan secara brutal. Invasi ini terlihat bak tidak bisa dihentikan lagi.

Dengan reputasi kekuasaan yang telah ia miliki di Timur Tengah, Hulagu seharusnya meyakinkan negeri yang masih tersisa untuk menyerah saja daripada menjadi korban seperti para tetangganya ini. Maka itu ia mengirim duta ke Mesir. Hulagu siap untuk mendengar penyerahan Mesir ketika dutanya dikirim ke Kairo, tempat dimana Sultan Mameluk Mesir, Qutuz, telah menunggunya. Sang duta Mongolia itu menggaris bawahi, bahwa jika Mesir tidak menyerah maka mereka akan berhadapan dengan pembantaian tanpa ampun dari Hulagu Khan. Mendengar ini, penasihat dan anggota majelis Qutuz pun mendesaknya agar menerima syarat dari sang Khan agar Mesir tunduk di dalam kekuasaan Mongolia.

Qutuz menjawabnya dengan aksi. Ia membunuh duta tersebut dan memajang kepalanya di atas tembok kota. Ketika kabar datang ke telinga Hulagu, amarahnya pun naik. Bagi Hulagu dan pasukan Mongolnya yang kejam, mengirim duta ke lawan adalah suatu penghormatan dan kebaikan yang cukup. Tetapi ketika Qutuz menjawabnya dengan kematian, ini sudah melampaui batas penghinaan. Ia menyiapkan pasukannya, melebihi pasukan Qutuz sepuluh banding satu, kemudian mars menuju Kairo. Tetapi di sini terjadilah hal yang tak terduga. Datang kabar dari kampung halaman, bahwa Mongke Khan jatuh sakit. Ia tengah sekarat menjemput kematiannya dan pemimpin penerusnya sedang dipilih. Hulagu merasa dirinya adalah yang paling pantas untuk menempati singgasana kakaknya itu. Untuk hal ini, ia pun mundur dan membawa serta sebagian besar pasukan bersamanya. Ia harus pulang untuk mengamankan gelarnya. Mesir bisa menunggu nanti.

Dalam absennya, ia meninggalkan jenderalnya di Timur Tengah, bernama Kitbuqa untuk membawahi pasukan Mongolia yang relatif kecil. Ketika sang Sultan di Kairo mendengar bahwa pasukan musuh telah dibagi dua, ia pun tidak membuang waktu. Qutuz membentuk pasukannya sendiri dan pergi keluar untuk bertemu langsung dengan Kitbuqa. Pasukan Mongolia yang lemah mendatangi Ksatria Salib yang masih berada di Timur Tengah, ia mendesak para Ksatria agar membentuk aliansi dengan mereka melawan “satu musuh yang sama”. Awalnya, para kristen itu tidak yakin. Mereka takkan lupa dengan peristiwa invasi Mongolia ke Eropa—takkan pernah lupa. Tetapi di lain sisi, pasukan Islam telah menjadi musuh mereka selama berabad-abad. Di sini letak keunikan alur cerita dalam sejarah pun terbukti, bahwa peraturan yang dikeluarkan dari Paus mencapai telinga pemimpin Ksatria Salib di Acre. Dekrit sang Paus adalah ;
“Pasukan Kristen dilarang (dengan cara apapun, alasan apapun) untuk membantu Mongol.”

Pada akhirnya, para Ksatria Salib mengambil jalan netral antara kedua kubu. Yang luar biasa dari mereka adalah, mereka membolehkan pasukan Sultan untuk melewati daerahnya dengan aman, bahkan membolehkan pasukan Mesir beristirahat dan mengisi suplai mereka. Qutuz menggunakan keunggulan ini secara penuh, sebelum langsung menuju ke pasukan Mongolia yang tersisa.

Akhirnya, kedua pasukan bertemu di lembah Jezreel, dekat mata air Ain Jalut. Reputasi pasukan Mongolia yang setelah bertahun-tahun tidak dapat dihentikan, akhirnya pada kesempatan ini bisa bertemu dengan lawan yang setimpal.


Peta bertemunya kedua pasukan di Ain Jalut


Kitbuqa maju duluan. Qutuz mengirim seporsi pasukan kecilnya di bawah kepemimpinan dari sekutunya, prajurit Mameluk Baibars. Sebagian besar pasukan Sultan bersembunyi diantara pepohonan di tanah yang lebih tinggi. Baibars tahu benar daerah tersebut dan berjasa sebagai pencetus strategi untuk pasukan Mesir. Baibars menyerang, kemudian mundur. Ia beberapa kali memundurkan pasukannya dari lapangan. Mundur terus dan terus seolah menjauh dari pasukan Mongol yang terus mengejar. Seorang yang bijak pasti akan berpikir bahwa aksi ini adalah jebakan, tetapi tidak untuk Kitbuqa. Ia terus saja mengejar pasukan Baibars sampai ke daratan yang lebih tinggi, di mana Qutuz telah menunggunya.

Keluarlah pasukan Sultan dengan kekuatan penuh. Kitbuqa dan pasukannya dikelilingi dari segala sudut. Mereka bertarung dengan ganas untuk keluar dari jebakan itu tetapi tidak berhasil. Akhirnya barisan sayap Mongolia digerogoti dan orang-orang yang tersisa berlari putus asa, mencoba untuk kabur.

Di saat itu, Sultan sendiri masih terpisah dari pasukannya yang mengepung Mongol. Ia mengawasi dan mempelajari apa yang ia lihat dari sebuah bukit tak jauh dari sana, dijaga oleh legiun pribadinya. Ketika mendapati sayap kiri Mongolia mulai runtuh, ia tahu disanalah saat yang tepat untuk menekan keunggulannya. Sang Sultan melepas helm tempurnya agar pasukannya mengenalinya, ia berteriak, “Oh, Islamku!”—sambil memacu kudanya ke depan, sendirian, menuju jantung pertempuran. Pasukannya, melihat sang Sultan berlari sendirian menuju medan tempur, langsung bersemangat dan berkumpul di belakang sang Sultan dan ikut memacu kuda mereka menuju sayap pasukan Mongol yang telah rusak. Dalam peristiwa pembantaian besar itu, pasukan Mongol yang dulunya terkenal tak terkalahkan, kini lari tunggang langgang. Mereka dikejar, dan setiap usaha perlawanan dari mereka, akan segera dihancurkan. Pada akhirnya pun Kitbuqa sendiri dibunuh, menandai selesainya percobaan ekspansi Mongolia ke Timur Tengah.

Pertempuran Ain Jalut adalah salah satu pertempuran awal untuk membuktikan bahwa pasukan Mongol yang mengerikan itu tidak seutuhnya kebal. Di bawah taktik yang tepat dan kepemimpinan yang baik, mereka nyatanya bisa dihentikan.


Patung kepala yang menggambarkan wajah Qutuz (kiri) dan Baibars (kanan)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dengan segala hormat, silahkan berkomentar dengan sopan. mengingat sabda Rasulullah (SAW); "Bicaralah dengan kata-kata yang baik, atau tetap diam."