Senin, 02 Januari 2017

GLADIATOR DAN KEPUNAHAN BINATANG


Tradisi membunuh binatang untuk bersenang-senang sudah ada lama dalam sejarah di Asia dan di Eropa. Dalam mosaik dan lukisan-lukisan Romawi, sering digambarkan perburuan binatang sebagai aktivitas heroik. Membantai binatang dianggap sebagai bentuk entertainment, dan masyarakat bertaburan ke pinggiran negeri mereka untuk mencari beruang, singa, rusa jantan, atau babi hutan untuk dikejar dengan anjing mereka, atau sampai tombak menembusnya.

    Sebagaimana Kekaisaran Romawi tumbuh berkembang sampai seluruh wilayah Mediterrania, masyarakat mereka pun bebas berjalan-jalan ke seluruh daerahnya untuk berburu atau membawa pulang binatang tangkapan mereka untuk nantinya dibunuh dalam kontes gladiator di Coliseum dan arena-arena lainnya di seluruh wilayah Romawi. Bagaimana tidak punah? Permainan gladiator mereka berlangsung lebih dari 400 tahun di lebih dari 70 Amphiteater, dan yang terbesar bisa menopang sampai 50.000 penonton.

 Kaisar-kaisar Romawi membumbui acara gladiator mereka seperti yang para pendahulu mereka selalu lakukan untuk membuat publik senang, yakni dengan membunuh lebih banyak binatang dan memproduksi acara yang lebih spektakuler. Kaisar Titus meresmikan Coliseum Romawi dengan mengadakan 100 hari perayaan, yang selama itu berlangsung, sangat banyak sekali jumlah binatang ditombaki setiap harinya oleh para gladiator. Di hari pembukaan saja, paling tidak 5.000 binatang telah dibantai, dan dua hari berikutnya, 3.000 lainnya ikutan menyusul. Binatang yang dikandangi tetap disimpan di gudang bawah tanah di mana mereka tidak diberi makan, dan pada hari festivalnya, mereka dilepaskan di arena. Disanalah para penonton bersorak sorai penuh kegembiraan, drum-drum dimainkan, terompet dibunyikan, dan binatang kebingungan ini siap dibunuh oleh predator terganas di muka bumi, yakni manusia.

Terkadang, beberapa binatang sengaja diadu untuk melawan sesamanya, dan di waktu lain, orang-orang bersenjatakan tombak dan trident mengejar mereka di arena yang sudah dihias menyerupai hutan dengan semak buatan, seolah menggambarkan mereka sedang berburu di hutan liar. Satu saja acara “perburuan di hutan liar” semacam ini tayang, maka paling tidak 300 ekor burung unta dan 200 ekor kambing gunung Kamois mati terbantai.

Singa, harimau, beruang, banteng, macan tutul, jerapah, serta rusa mati setelah disiksa, ditusuk dan digores. Kucing besar yang telah dibiarkan kelaparan dilepas ke arena di mana para tahanan perang dan budak belian telah dicambuki pada sebuah tonggak. Binatang ini menyakar habis para tahanan perang dan budak itu dan menikmatinya, sebelum kemudian, merekalah yang menjadi korban dari para gladiator. Di acara gladiator berskala besar, satu hari bisa cukup untuk membantai 500 ekor singa, lebih dari 400 ekor macan tutul, atau 100 ekor beruang. Kuda nil, badak, buaya, dibawa serta ke arena ini dan terkadang para gladiator menggunakan metode yang ganjil untuk membunuh mereka. Semisal dengan memenggal kepala burung onta yang sedang berlari dengan menggunakan panah berbentuk bulan sabit. Seolah aksi gila mereka menambah rating acara tersebut.

    Penonton akan bersorak gembira dan tertawa ria saat pembantaian brutal kepada binatang dilakukan, tetapi ketika 20 ekor gajah diadu melawan seorang gladiator bersenjata, tangisan gajah-gajah yang tersiksa ini akan membuat para penonton untuk meneriakkan “Huu!!” (sorakan hinaan) kepada sang Kaisar atas kekejamannya. Meskipun gajah membuat nama kaisar turun, tetapi penggunaan gajah tetap saja tidak berhenti. Pembantaian seperti ini mengeliminasi mamalia besar dari area Mediterania. Gajah Afrika Utara (Loxodonta africana)misalnya, mereka telah musnah karena diburu dan ditangkapi untuk mati di arena-arena Romawi. Selain itu, gajah-gajah juga dipakai oleh orang Romawi untuk transportasi dan pertarungan. Romawi mungkin menjadi salah satu elemen besar dalam kemusnahan gajah asia (Elephas maximus) dari tanah Asia barat. Tidak lupa juga dengan Hannibal Barca, Jenderal Carthagia yang menggunakan gajah untuk melintasi Alpen, yang mana gajahnya kemudian mati semua karena pencahayaan matahari.


 Sebelum ekspansi Kekaisaran Romawi, ada binatang bernama beruang Atlas (Ursus arctos crowtheri) yang tinggal di pegunungan dan hutan di Afrika Utara. Mereka adalah satu-satunya jenis beruang yang dimiliki benua Afrika. Nama mereka berasal dari habitat terakhir mereka di gunung Atlas, Maroko, mereka termasuk dalam ras beruang coklat yang endemik kepada Eurasia dan Amerika Utara. Dan Afrika utara adalah wilayah paling selatan untuk jenis beruang dari keluarga tersebut. Saat Romawi memasuki Eropa Utara, mereka membabat hutan tempat beruang ini tinggal dan membantai ribuan dari mereka untuk olahraga. Yang lain ditangkapi untuk pertarungan di Coliseum melawan Gladiator. Melewati abad-abad Romawi, beruang ini masih bertahan. Tetapi lagi, manusia mencampuri tanah mereka dengan membabat hutan gunung Atlas untuk bahan material bangunan, dan para pemilik tanah era kolonial menggunakan tanah yang sudah gundul itu untuk tempat dilepasnya ternak mereka. Pada masa ini, beruang Atlas semakin dilarang untuk pulang ke gunung Atlas. Di abad ke-18, seorang naturalis Prancis mendapati kulit beruang ini yang masih segar, dan mulai membuat laporan sains tentangnya. Orang-orang mulai tertarik dan akhir 1830an, beruang ini menjadi pemandangan biasa di kebun binatang di Prancis. Pada 1840, ilmuwan Inggris menyatakan bahwa beruang ini, walaupun lebih kecil dari beruang hitam Amerika, tetapi terbukti adalah subspesies darinya. Beruang ini gempal dengan moncong pendek, berwarna cokelat kehitaman dan bulu punggungnya bertekstur tidak rata. Bulu perutnya berwarna oranye. Meskipun beruang Atlas semakin langka jumlahnya pada masa itu, tetapi tidak ada perlindungan untuk mereka, dan beruang terakhir mati ditembak sekitar tahun 1870.


Yang tadi beruang. Yang ini adalah singa.
Herodotus dan Aristoteles, para filsuf dunia kuno dari Yunani, menulis bahwa singa-singa pernah hidup di negeri mereka pada masa itu. Dua ribu tahun yang lalu, habitat kucing besar ini meluas sampai ke ujung timur sampai India dan Pakistan dan diseluruh benua Afrika. Sekarang Eropa hanya bisa mengenang singa milik mereka dari perisai atau coat-of-arms mereka saja, karena singa eropa telah musnah dari Italia dan Yunani karena diburu dan ditangkapi. Ribuan dari mereka menjemput ajal demi sorakan dan tawa penonton di pertunjukan gladiator. Ketika singa eropa sudah habis semua, Romawi pun menengok ke Afrika utara. Dulu di Afrika utara ada spesies bernama Barbary Lion atau Atlas Lion (Panthera leo leo), mereka adalah spesies singa gurun yang pernah menyebar di utara Sahara. Mereka dikenal karena bulu rambutnya yang sangat besar yang sampai menutupi setengah badannya. Singa Atlas jantan adalah spesies singa terbesar dari seluruh spesies singa yang pernah hidup sejaman dengannya. Mereka juga menyandang gelar sebagai singa pertama yang dinamai dalam subspesies keluarga singa. Beratnya bisa sampai 500 pounds dan panjangnya sampai 10 kaki dari ujung hidung sampai ujung ekornya. Sang predator majestik ini pun jatuh ke tangan predator konyol yang mempermainkan kematian mereka di Coliseum. Sama seperti beruang Atlas, mereka bertahan dari abad Romawi dan sisanya mulai mundur ke bagian hutan terdalam. Tetapi manusia tetap mengejar mereka, suku-suku Arab, Tunisia dan Aljazair mengejar mereka untuk olahraga, dan kemudian, pemerintah kolonial Prancis memberikan bayaran untuk kulit binatang besar ini. Pada abad ke-19, lomba perburuan kulit singa selesai dengan terbunuhnya singa terakhir di Aljazair. Sisa dari singa ini ternyata masih ada dan sama seperti beruang Atlas, satu-satunya harapan mereka untuk berlindung adalah gunung Atlas. Di sana pada 1922, singa terakhir dilaporkan terbunuh oleh pemburu. Meskipun dinyatakan punah, tetapi beberapa dari singa terakhir masih bertahan di penangkaran. Di kebun binatang dan di sirkus, ditemukan singa jenis ini, dan usaha pengembangbiakan mereka pun buru-buru digalakkan.


Sementara itu pada abad ke-13, singa sudah dimusnahkan dari Mediterania timur. Mereka sudah lenyap dari Irak, Iran, dan Pakistan pada 1800an. Singa terakhir di Arab Saudi saja terbunuh pada 1923. Kenapa singa bisa dimusuhi seperti itu?

            Karena, untuk budaya kuno di Asia barat dan Timur tengah, membunuh salah satu dari kucing besar ini (apalagi jantan), dianggap sebagai tindakan heroik dan boleh dicatat dalam lukisan atau mosaik. Banyak karya seni dari budaya Assyria dan Asia barat yang menggambarkan itu. Pada pertengahan abad 19, Singa Asia, (Panthera leo persica) dipindahkan ke India dan menyebarluas di negeri tersebut. Tetapi selama setengah waktu terakhir abad ke-19, perwira kolonial Inggris kembali membahayakan kelangsungan hidup mereka dengan hobi berburunya. Biasanya orang Inggris akan dengan bangga membawa kulit singa hasil buruannya kembali ke Inggris untuk oleh-oleh. Tetapi hasilnya? Seorang pemburu ini membuat iri para bangsawan lainnya dan berbondong-bondong dari mereka kembali ke India untuk menembaki 300 ekor singa India pada 1860. Tentu saja oleh tekanan seperti itu, singa langsung menghilang dari seluruh India. Pada tahun 1900, perlindungan akhirnya disuarakan untuk spesies terakhir singa ini saat populasinya sudah sangat menipis, yakni dibawah angka 100. Sekarang jumlah singa di hutan Gir itu bertambah sekitar ratusan lebih, dan itulah yang tersisa dari kucing besar Eurasia ini. Mereka sekarang dilindungi di Taman Nasional Sasan Gir di India barat, di sana populasi mereka bertambah.




Sumber Dari : http://www.endangeredspecieshandbook.org/persecution_roman.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dengan segala hormat, silahkan berkomentar dengan sopan. mengingat sabda Rasulullah (SAW); "Bicaralah dengan kata-kata yang baik, atau tetap diam."