Sebuah bangunan nan gagah terbuat dari batu tebal,
benteng Krak Des Chevaliers berkilau diterpa sinar matahari di bawah birunya
langit. Suasana sepi sekitarnya seolah merahasiakan bahwa dirinya pernah
menjadi rebutan pasukan-pasukan terbesar di masa lampau.
April, pagi hari, tahun 1271...
Melalui gerbang, mengular keluar barisan panjang
pasukan berkuda. Mereka mengenakan baju zirah-rantai (chainmail) yang mengkilat
diterpa matahari, serta tertutupi oleh jubah yang terbuat dari wool hitam. Pada
dada besi mereka, dapat terlihat salib putih simbol para Ksatria Salib
Hospitaller. Dulu, tugas mereka adalah untuk menjaga bangunan ini yang
merupakan kunci penaklukkan Perang Salib, namun sekarang, masa keemasan mereka
telah selesai. Banyak yang menunggang kudanya tanpa helm, beberapa lainnya
bahkan masih mengenakan perban dengan bercak merah darah. Atau dengan bagian
tubuh yang digips. Kenyataannya, mereka telah kalah. Tetapi kepala mereka tetap
diangkat tinggi, menjaga martabat sebagai para Ksatria Salib untuk tetap
terlihat gagah meskipun telah menyerah. Kepala mereka naik, namun mata mereka
turun melirik dingin pasukan Sultan yang hendak menggantikan mereka menempati
benteng tersebut.
Krak Des Chevalier, tadinya adalah benteng kuat
untuk para Ksatria Hospitaller. Dengan seluruh kekuatan dan ketabahannya, para
ksatria mempertahankan benteng tersebut. Pada dasarnya, mereka akan dapat
mempertahankan benteng itu lebih lama, kalau perlu sampai mati. Tetapi semua
patah ketika sepucuk surat mereka terima di malam sebelumnya. Para ksatria yang
bertahan di Krak Des Chevaliers nampaknya harus berpikir lagi kenapa semua ini
terjadi? Kenyataannya, keruntuhan benteng gagah tersebut telah jatuh bahkan
sebelum pengepungannya terjadi.
SULTAN BAIBARS YANG CERDIK
Dalam artikel sebelumnya yang berjudul "KISAH SAAT MONGOLIA DIBERHENTIKAN DI AIN JALUT" tokoh protagonisnya adalah Sultan Mesir Qutuz. di kisah
tersebut, panglima Sultan Qutuz adalah Baibars yang memegang peran penting
dalam memukul mundur pasukan Mongolia dari Timur Tengah. setelah Qutuz tutup
usia, Baibars mengambil alih kepemimpinan Mamluk dan ini adalah kisahnya :
Sultan Baibars sudah pernah melakukan mars ke
daerah tersebut setahun sebelumnya, membiarkan ternaknya merumput di sana dan
mengambil keuntungan penuh dari sumber daya alam yang dimiliki benteng
tersebut. Sultan Baibars inilah yang berhasil menendang horde Mongolia dari
Timur Tengah dan menyetop mereka selamanya. Ia adalah seorang ahli strategi
yang cerdik dan takkan memulai konflik yang tidak diperlukan. Pasukan Hospitaller
tahu bahwa mereka telah memiliki lawan yang setimpal.
Bahkan ketika pasukannya berjumpa di kastil
pasukan Salib, Sang Sultan memilih untuk membelokkan pasukannya dan mundur.
Kabar datang kepadanya bahwa Perang Salib kedelapan telah dimulai, dipimpin
oleh Raja Louis IX. Sang Sultan mundur untuk mengkonsolidasikan pasukannya.
Ketika, setahun kemudian, sang Raja Prancis telah meninggal, Sultan Baibars
tahu bahwa waktu untuk benteng Krak Des Chevalier telah tiba. Sekali lagi ia
melepaskan tuan-tuan rumah di setiap daerah, kali ini, pasukannya terlihat tak
dapat dihentikan. Kemanapun ia pergi, kastil-kastil kecil di wilayah sekitarnya
akan jatuh kepadanya dengan perlawanan kecil. Di waktu saat dirinya telah
sampai ke benteng utama Hospitaller, kemungkinan menangnya melawan para Salib
itu sudah tipis. Meskipun pasukan Hospitaller kalah jumlah secara drastis dan
menghadapi seorang ahli militer terkenal, mereka tetap tidak ingin menyerahkan
bentengnya begitu saja. Setelah menawarkan perlindungan untuk banyak penduduk
lokal dalam dinding-dinding tebal mereka, para Ksatria menutup rapat-rapat
gerbang mereka dan bersiap untuk bertahan dari pengepungan.
Benteng Krak Des Chevaliers sangatlah luar biasa.
Terbukti, meskipun para penyerang jauh lebih superior dari para penjaga,
faktanya pasukan Salib di benteng itu masih punya keuntungan. Benteng ini
dibuat secara spesifik memang untuk bertahan dari serangan yang brutal dan
berkepanjangan, dengan fortifikasi yang hampir dua kali lebih tebal, lebih luas
dan lebih kuat dari benteng-benteng di Eropa pada umumnya. Benteng itu
dilengkapi dengan parit besar, beberapa tembok tinggi yang dijaga penuh, dan
sebuah gerbang yang hanya bisa diakses melalui jalan yang panjang dan
membingungkan. Fitur yang terakhir disebutkan itu adalah yang paling menawarkan
tantangan besar, karena pada jalan gang menuju gerbang, langit-langit
koridornya didesain sedemikian rupa dengan “lubang-lubang pembunuh”, yakni
celah yang bisa digunakan para penjaga untuk melemparkan tombak, batu, atau
senjata proyektil lainnya. Mereka juga bisa menuangkan minyak mendidih atau
pasir panas kepada para pasukan yang mencoba masuk.
Hanya untuk mendekat ke gerbangnya saja sudah
sangat sulit sekali, oleh karena itu Baibars menggunakan taktik lain. Setelah
melempari benteng dengan ketapel dan mesin artileri lainnya, sang Sultan
menyuruh pasukannya untuk ke bawah tanah. Yakni dengan menggali terowongan
panjang di bawah salah satu menara di bagian barat daya benteng. Para penggali
menyangga terowongan itu dengan tongkat-tongkat kayu agar tanah di atas mereka
tidak ambles. Kemudian, setelah membenamkan fondasi menara tersebut, para
penggali mengemas batang-batang kayu bersama dengan jerami kering dan bangkai
babi kemudian membakarnya. Ketika penyangga kayunya ikut terbakar dan menjadi
abu, menara di atasnya pun tenggelam dan runtuh. Lubang pun terbuka di dinding
paling luar, dan Sultan Baibars pun memberikan perintah untuk menyerbunya.
Pasukan penyerbu terdepannya pun langsung membanjiri sekitaran lubang dan masuk
lewat lubang tersebut menuju kawasan terluar benteng. Di sana, mereka
menghadapi perlawanan kecil karena di kawasan terluar itu adalah tempat para
warga sipil berlindung kepada Ksatria Hospitaller. Para Ksatria itu sendiri
masuk ke lapisan lebih dalam, mereka bertekad untuk bertarung sampai orang
terakhir. Tembok bagian dalamnya jauh lebih mengesankan daripada bagian luar
yang telah dikuasai pasukan Sultan. Melihat itu, sepertinya akan sangat sulit
untuk menembusnya atau untuk memaksa para penjaga untuk keluar. Di posisi semacam
itu, permainan tunggu menunggu pun tak terelakkan. Para penyerang yang
mengepung sebuah benteng sampai berbulan-bulan adalah pemandangan biasa pada
masa itu, biasanya mereka akan menunggu pasukan penjaga menyerah karena
kehabisan suplai makanan, senjata, atau air bersih. Para Hospitaller punya
akses untuk mendapatkan air bersih dari parit mereka, dan mereka juga punya
makanan yang cukup untuk menahan serangan sampai berbulan-bulan. Dan meskipun
jumlah mereka sangat timpang jauh dengan para penyerang, tetapi pasukan Ksatria
yang masih bertahan sangat anti dalam mengkhianati Ordo dan sumpah mereka
sebagaimana mereka anti dalam menyerah. Dengan bekal dan kekuatan moral seperti
yang disebutkan, mereka sudah siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi
ekspektasi mereka tidak sesuai dengan realita.
Setelah jeda sepuluh hari dalam permusuhan
terbuka, sebuah surat dilayangkan ke benteng tersebut. Surat tersebut
ditandatangani oleh Grand Master Ordo Hospitaller itu sendiri, berisi instruksi
yang simpel namun mengejutkan bagi para penjaga;
“Para penjaga harus menyerahkan bentengnya dan
membuat perjanjian dengan Sultan dan orang-orangnya.”
Tentu sangat heran mereka mendapat surat itu,
tetapi perintah adalah perintah. Secepatnya, para Ksatria di dalam Krak des
Chevaliers mengirim keluar sekelompok orang untuk membuat perjanjian dengan
Sultan atas menyerahnya mereka. Sang Sultan, yang merupakan seorang sportif dan
pengampun, setuju untuk membiarkan seluruh pria, wanita, dan anak-anak untuk
meninggalkan benteng tanpa dilukai. Ia bahkan menggaransi untuk memberikan para
Hospitaller dan warga sipilnya jalur yang aman untuk mereka lewati. Dengan izin
dari Grand Master mereka, para Ksatria pun menerima proposal itu dan
pengepungan pun berakhir.
Maka terbukalah gerbang benteng tersebut pada pagi
hari yang cerah di akhir musim semi tahun 1271. Pertumpahan darah telah
selesai, para penjaga keluar dengan bangga, dan pasukan Sultan mulai
memperbaiki kerusakan benteng yang sebelumnya mereka perbuat. Setelah
berabad-abad benteng itu terlihat tak tertembus, kini ia telah jatuh oleh
selembar kertas. Satu tanda tangan di bawah halaman kertas tersebut merubah
sejarah selamanya.
Dan asal kalian tahu, tentu saja tanda tangan itu
tidak dibubuhkan oleh Grand Master.
Banyak cerita yang beredar tentang siapa yang bisa
meniru surat resmi tersebut, apakah sultan sendiri atau dia menyuruh orang
lain? tetapi semua keraguan tetap saja berakhir dengan pujian bahwa kecerdikan
sang Sultanlah yang telah mengidekan hal itu. Dengan cara yang begitu luar
biasa, Sultan Baibars menghindari pertumpahan darah dan pengepungan yang kejam
dengan secara simpel memberikan izin para Hospitaller untuk menyerah.
Kecerdasan terbukti dapat melampaui seberapapun
tebalnya tembok Krak Des Chevalier.
Ksatria Salib Hospitaller
Prajurit Mamluk dengan zirah penuh