Senin, 02 Januari 2017

KRAK DES CHEVALIERS, BENTENG YANG TAK TERTEMBUS, DITAKLUKKAN DENGAN SECARIK KERTAS



Sebuah bangunan nan gagah terbuat dari batu tebal, benteng Krak Des Chevaliers berkilau diterpa sinar matahari di bawah birunya langit. Suasana sepi sekitarnya seolah merahasiakan bahwa dirinya pernah menjadi rebutan pasukan-pasukan terbesar di masa lampau.



April, pagi hari, tahun 1271...
Melalui gerbang, mengular keluar barisan panjang pasukan berkuda. Mereka mengenakan baju zirah-rantai (chainmail) yang mengkilat diterpa matahari, serta tertutupi oleh jubah yang terbuat dari wool hitam. Pada dada besi mereka, dapat terlihat salib putih simbol para Ksatria Salib Hospitaller. Dulu, tugas mereka adalah untuk menjaga bangunan ini yang merupakan kunci penaklukkan Perang Salib, namun sekarang, masa keemasan mereka telah selesai. Banyak yang menunggang kudanya tanpa helm, beberapa lainnya bahkan masih mengenakan perban dengan bercak merah darah. Atau dengan bagian tubuh yang digips. Kenyataannya, mereka telah kalah. Tetapi kepala mereka tetap diangkat tinggi, menjaga martabat sebagai para Ksatria Salib untuk tetap terlihat gagah meskipun telah menyerah. Kepala mereka naik, namun mata mereka turun melirik dingin pasukan Sultan yang hendak menggantikan mereka menempati benteng tersebut.

Krak Des Chevalier, tadinya adalah benteng kuat untuk para Ksatria Hospitaller. Dengan seluruh kekuatan dan ketabahannya, para ksatria mempertahankan benteng tersebut. Pada dasarnya, mereka akan dapat mempertahankan benteng itu lebih lama, kalau perlu sampai mati. Tetapi semua patah ketika sepucuk surat mereka terima di malam sebelumnya. Para ksatria yang bertahan di Krak Des Chevaliers nampaknya harus berpikir lagi kenapa semua ini terjadi? Kenyataannya, keruntuhan benteng gagah tersebut telah jatuh bahkan sebelum pengepungannya terjadi.


SULTAN BAIBARS YANG CERDIK

Dalam artikel sebelumnya yang berjudul "KISAH SAAT MONGOLIA DIBERHENTIKAN DI AIN JALUT" tokoh protagonisnya adalah Sultan Mesir Qutuz. di kisah tersebut, panglima Sultan Qutuz adalah Baibars yang memegang peran penting dalam memukul mundur pasukan Mongolia dari Timur Tengah. setelah Qutuz tutup usia, Baibars mengambil alih kepemimpinan Mamluk dan ini adalah kisahnya :

Sultan Baibars sudah pernah melakukan mars ke daerah tersebut setahun sebelumnya, membiarkan ternaknya merumput di sana dan mengambil keuntungan penuh dari sumber daya alam yang dimiliki benteng tersebut. Sultan Baibars inilah yang berhasil menendang horde Mongolia dari Timur Tengah dan menyetop mereka selamanya. Ia adalah seorang ahli strategi yang cerdik dan takkan memulai konflik yang tidak diperlukan. Pasukan Hospitaller tahu bahwa mereka telah memiliki lawan yang setimpal.

Bahkan ketika pasukannya berjumpa di kastil pasukan Salib, Sang Sultan memilih untuk membelokkan pasukannya dan mundur. Kabar datang kepadanya bahwa Perang Salib kedelapan telah dimulai, dipimpin oleh Raja Louis IX. Sang Sultan mundur untuk mengkonsolidasikan pasukannya. Ketika, setahun kemudian, sang Raja Prancis telah meninggal, Sultan Baibars tahu bahwa waktu untuk benteng Krak Des Chevalier telah tiba. Sekali lagi ia melepaskan tuan-tuan rumah di setiap daerah, kali ini, pasukannya terlihat tak dapat dihentikan. Kemanapun ia pergi, kastil-kastil kecil di wilayah sekitarnya akan jatuh kepadanya dengan perlawanan kecil. Di waktu saat dirinya telah sampai ke benteng utama Hospitaller, kemungkinan menangnya melawan para Salib itu sudah tipis. Meskipun pasukan Hospitaller kalah jumlah secara drastis dan menghadapi seorang ahli militer terkenal, mereka tetap tidak ingin menyerahkan bentengnya begitu saja. Setelah menawarkan perlindungan untuk banyak penduduk lokal dalam dinding-dinding tebal mereka, para Ksatria menutup rapat-rapat gerbang mereka dan bersiap untuk bertahan dari pengepungan.

Benteng Krak Des Chevaliers sangatlah luar biasa. Terbukti, meskipun para penyerang jauh lebih superior dari para penjaga, faktanya pasukan Salib di benteng itu masih punya keuntungan. Benteng ini dibuat secara spesifik memang untuk bertahan dari serangan yang brutal dan berkepanjangan, dengan fortifikasi yang hampir dua kali lebih tebal, lebih luas dan lebih kuat dari benteng-benteng di Eropa pada umumnya. Benteng itu dilengkapi dengan parit besar, beberapa tembok tinggi yang dijaga penuh, dan sebuah gerbang yang hanya bisa diakses melalui jalan yang panjang dan membingungkan. Fitur yang terakhir disebutkan itu adalah yang paling menawarkan tantangan besar, karena pada jalan gang menuju gerbang, langit-langit koridornya didesain sedemikian rupa dengan “lubang-lubang pembunuh”, yakni celah yang bisa digunakan para penjaga untuk melemparkan tombak, batu, atau senjata proyektil lainnya. Mereka juga bisa menuangkan minyak mendidih atau pasir panas kepada para pasukan yang mencoba masuk.

Hanya untuk mendekat ke gerbangnya saja sudah sangat sulit sekali, oleh karena itu Baibars menggunakan taktik lain. Setelah melempari benteng dengan ketapel dan mesin artileri lainnya, sang Sultan menyuruh pasukannya untuk ke bawah tanah. Yakni dengan menggali terowongan panjang di bawah salah satu menara di bagian barat daya benteng. Para penggali menyangga terowongan itu dengan tongkat-tongkat kayu agar tanah di atas mereka tidak ambles. Kemudian, setelah membenamkan fondasi menara tersebut, para penggali mengemas batang-batang kayu bersama dengan jerami kering dan bangkai babi kemudian membakarnya. Ketika penyangga kayunya ikut terbakar dan menjadi abu, menara di atasnya pun tenggelam dan runtuh. Lubang pun terbuka di dinding paling luar, dan Sultan Baibars pun memberikan perintah untuk menyerbunya. Pasukan penyerbu terdepannya pun langsung membanjiri sekitaran lubang dan masuk lewat lubang tersebut menuju kawasan terluar benteng. Di sana, mereka menghadapi perlawanan kecil karena di kawasan terluar itu adalah tempat para warga sipil berlindung kepada Ksatria Hospitaller. Para Ksatria itu sendiri masuk ke lapisan lebih dalam, mereka bertekad untuk bertarung sampai orang terakhir. Tembok bagian dalamnya jauh lebih mengesankan daripada bagian luar yang telah dikuasai pasukan Sultan. Melihat itu, sepertinya akan sangat sulit untuk menembusnya atau untuk memaksa para penjaga untuk keluar. Di posisi semacam itu, permainan tunggu menunggu pun tak terelakkan. Para penyerang yang mengepung sebuah benteng sampai berbulan-bulan adalah pemandangan biasa pada masa itu, biasanya mereka akan menunggu pasukan penjaga menyerah karena kehabisan suplai makanan, senjata, atau air bersih. Para Hospitaller punya akses untuk mendapatkan air bersih dari parit mereka, dan mereka juga punya makanan yang cukup untuk menahan serangan sampai berbulan-bulan. Dan meskipun jumlah mereka sangat timpang jauh dengan para penyerang, tetapi pasukan Ksatria yang masih bertahan sangat anti dalam mengkhianati Ordo dan sumpah mereka sebagaimana mereka anti dalam menyerah. Dengan bekal dan kekuatan moral seperti yang disebutkan, mereka sudah siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi ekspektasi mereka tidak sesuai dengan realita.

Setelah jeda sepuluh hari dalam permusuhan terbuka, sebuah surat dilayangkan ke benteng tersebut. Surat tersebut ditandatangani oleh Grand Master Ordo Hospitaller itu sendiri, berisi instruksi yang simpel namun mengejutkan bagi para penjaga;
“Para penjaga harus menyerahkan bentengnya dan membuat perjanjian dengan Sultan dan orang-orangnya.”

Tentu sangat heran mereka mendapat surat itu, tetapi perintah adalah perintah. Secepatnya, para Ksatria di dalam Krak des Chevaliers mengirim keluar sekelompok orang untuk membuat perjanjian dengan Sultan atas menyerahnya mereka. Sang Sultan, yang merupakan seorang sportif dan pengampun, setuju untuk membiarkan seluruh pria, wanita, dan anak-anak untuk meninggalkan benteng tanpa dilukai. Ia bahkan menggaransi untuk memberikan para Hospitaller dan warga sipilnya jalur yang aman untuk mereka lewati. Dengan izin dari Grand Master mereka, para Ksatria pun menerima proposal itu dan pengepungan pun berakhir.

Maka terbukalah gerbang benteng tersebut pada pagi hari yang cerah di akhir musim semi tahun 1271. Pertumpahan darah telah selesai, para penjaga keluar dengan bangga, dan pasukan Sultan mulai memperbaiki kerusakan benteng yang sebelumnya mereka perbuat. Setelah berabad-abad benteng itu terlihat tak tertembus, kini ia telah jatuh oleh selembar kertas. Satu tanda tangan di bawah halaman kertas tersebut merubah sejarah selamanya.
Dan asal kalian tahu, tentu saja tanda tangan itu tidak dibubuhkan oleh Grand Master.

Banyak cerita yang beredar tentang siapa yang bisa meniru surat resmi tersebut, apakah sultan sendiri atau dia menyuruh orang lain? tetapi semua keraguan tetap saja berakhir dengan pujian bahwa kecerdikan sang Sultanlah yang telah mengidekan hal itu. Dengan cara yang begitu luar biasa, Sultan Baibars menghindari pertumpahan darah dan pengepungan yang kejam dengan secara simpel memberikan izin para Hospitaller untuk menyerah.

Kecerdasan terbukti dapat melampaui seberapapun tebalnya tembok Krak Des Chevalier.



Ksatria Salib Hospitaller


Prajurit Mamluk dengan zirah penuh


KISAH SAAT MONGOLIA DIPUKUL MUNDUR DI AIN JALUT




Pasukan horde Mongolia abad ke-13 adalah satu dari monster perang yang pernah memporak-porandakan bumi. Mereka menyapu Asia dan Eropa, menguasai Rusia dan memecahkan berkeping-keping setiap perlawanan yang mencoba menghentikan mereka. Setelah Mongolia dibangkitkan oleh Genghis Khan, kini cucunya yang memimpin. Mereka menggabungkan kecerdikan berikut dengan jumlah pasukannya. Reputasi mereka begitu mengerikan sampai-sampai ketika mereka melakukan mars menuju front Barat, Kerajaan-kerajaan Eropa yang sedang berperang satu sama lainnya, langsung mengesampingkan konflik mereka dan bersatu untuk melawan invasi Mongol tersebut. Pada akhirnya pun, didapati bahwa kampanye militer Mongolia atas Eropa terbukti sulit. Pasukan berkuda ringan mereka yang telah menjadi aset terhebat di Asia, memperlihatkan kelemahannya di tengah hutan lebat Eropa yang becek dan berlumpur. Apalagi adanya persatuan kerajaan Eropa yang berdiri untuk melawan mereka. Ketika pemimpin Mongolia jatuh sakit dan mati, para penyerang ini pun tidak punya pilihan selain untuk pulang kembali ke kampung halamannya dan memahkotai pemimpin baru.

Pemimpin baru mereka, Mongke Khan, tidak terlalu berminat untuk kembali ke Eropa. Sebagai gantinya, ia menengok “hadiah” baru untuk pasukannya, yakni adalah Timur Tengah. Lima tahun dibutuhkan bagi Mongke Khan untuk mengumpulkan pasukannya ke tingkat kekuatan penuh. Ketika sampai akhirnya ia puas dengan jumlah pasukannya, ia menunjuk adiknya, Hulagu Khan, untuk memimpin pasukannya tersebut. Mongke Khan menginstruksi Hulagu, agar ia memberi ampun kepada lawan yang sudah menyerah. Hulagu mengiyakan keinginan sang pemimpin dan dimulailah penyapuannya untuk kekuasaan Mongolia. Banyak negeri yang tunduk di hadapan pasukan ini. Mereka yang mencoba menghalangi jalannya pun, segera ditundukkan. Negeri-negeri tersebut takut serta terkesima akan kekuatan pasukan Mongolia, mereka ingin menjadi aman dengan bergabung di dalamnya. Atas dasar ini, negeri-negeri tersebut pun menawarkan pasukan mereka untuk bertempur di dalam barisan bangsa Mongol.

Sejarah mencatat ketika Hulagu mencapai Baghdad, ia telah memiliki banyak macam bangsa di dalam pasukannya, bahkan termasuk juga beberapa Ksatria Frankish. Dengan kekuatan seperti itu, semua yang ia lewati pun jatuh. Persia, Baghdad, Damaskus, semua kekuatan besar di Timur Tengah runtuh di hadapan serangan hebat Mongolia. Mereka yang tidak menyerah akan ditundukkan secara brutal. Invasi ini terlihat bak tidak bisa dihentikan lagi.

Dengan reputasi kekuasaan yang telah ia miliki di Timur Tengah, Hulagu seharusnya meyakinkan negeri yang masih tersisa untuk menyerah saja daripada menjadi korban seperti para tetangganya ini. Maka itu ia mengirim duta ke Mesir. Hulagu siap untuk mendengar penyerahan Mesir ketika dutanya dikirim ke Kairo, tempat dimana Sultan Mameluk Mesir, Qutuz, telah menunggunya. Sang duta Mongolia itu menggaris bawahi, bahwa jika Mesir tidak menyerah maka mereka akan berhadapan dengan pembantaian tanpa ampun dari Hulagu Khan. Mendengar ini, penasihat dan anggota majelis Qutuz pun mendesaknya agar menerima syarat dari sang Khan agar Mesir tunduk di dalam kekuasaan Mongolia.

Qutuz menjawabnya dengan aksi. Ia membunuh duta tersebut dan memajang kepalanya di atas tembok kota. Ketika kabar datang ke telinga Hulagu, amarahnya pun naik. Bagi Hulagu dan pasukan Mongolnya yang kejam, mengirim duta ke lawan adalah suatu penghormatan dan kebaikan yang cukup. Tetapi ketika Qutuz menjawabnya dengan kematian, ini sudah melampaui batas penghinaan. Ia menyiapkan pasukannya, melebihi pasukan Qutuz sepuluh banding satu, kemudian mars menuju Kairo. Tetapi di sini terjadilah hal yang tak terduga. Datang kabar dari kampung halaman, bahwa Mongke Khan jatuh sakit. Ia tengah sekarat menjemput kematiannya dan pemimpin penerusnya sedang dipilih. Hulagu merasa dirinya adalah yang paling pantas untuk menempati singgasana kakaknya itu. Untuk hal ini, ia pun mundur dan membawa serta sebagian besar pasukan bersamanya. Ia harus pulang untuk mengamankan gelarnya. Mesir bisa menunggu nanti.

Dalam absennya, ia meninggalkan jenderalnya di Timur Tengah, bernama Kitbuqa untuk membawahi pasukan Mongolia yang relatif kecil. Ketika sang Sultan di Kairo mendengar bahwa pasukan musuh telah dibagi dua, ia pun tidak membuang waktu. Qutuz membentuk pasukannya sendiri dan pergi keluar untuk bertemu langsung dengan Kitbuqa. Pasukan Mongolia yang lemah mendatangi Ksatria Salib yang masih berada di Timur Tengah, ia mendesak para Ksatria agar membentuk aliansi dengan mereka melawan “satu musuh yang sama”. Awalnya, para kristen itu tidak yakin. Mereka takkan lupa dengan peristiwa invasi Mongolia ke Eropa—takkan pernah lupa. Tetapi di lain sisi, pasukan Islam telah menjadi musuh mereka selama berabad-abad. Di sini letak keunikan alur cerita dalam sejarah pun terbukti, bahwa peraturan yang dikeluarkan dari Paus mencapai telinga pemimpin Ksatria Salib di Acre. Dekrit sang Paus adalah ;
“Pasukan Kristen dilarang (dengan cara apapun, alasan apapun) untuk membantu Mongol.”

Pada akhirnya, para Ksatria Salib mengambil jalan netral antara kedua kubu. Yang luar biasa dari mereka adalah, mereka membolehkan pasukan Sultan untuk melewati daerahnya dengan aman, bahkan membolehkan pasukan Mesir beristirahat dan mengisi suplai mereka. Qutuz menggunakan keunggulan ini secara penuh, sebelum langsung menuju ke pasukan Mongolia yang tersisa.

Akhirnya, kedua pasukan bertemu di lembah Jezreel, dekat mata air Ain Jalut. Reputasi pasukan Mongolia yang setelah bertahun-tahun tidak dapat dihentikan, akhirnya pada kesempatan ini bisa bertemu dengan lawan yang setimpal.


Peta bertemunya kedua pasukan di Ain Jalut


Kitbuqa maju duluan. Qutuz mengirim seporsi pasukan kecilnya di bawah kepemimpinan dari sekutunya, prajurit Mameluk Baibars. Sebagian besar pasukan Sultan bersembunyi diantara pepohonan di tanah yang lebih tinggi. Baibars tahu benar daerah tersebut dan berjasa sebagai pencetus strategi untuk pasukan Mesir. Baibars menyerang, kemudian mundur. Ia beberapa kali memundurkan pasukannya dari lapangan. Mundur terus dan terus seolah menjauh dari pasukan Mongol yang terus mengejar. Seorang yang bijak pasti akan berpikir bahwa aksi ini adalah jebakan, tetapi tidak untuk Kitbuqa. Ia terus saja mengejar pasukan Baibars sampai ke daratan yang lebih tinggi, di mana Qutuz telah menunggunya.

Keluarlah pasukan Sultan dengan kekuatan penuh. Kitbuqa dan pasukannya dikelilingi dari segala sudut. Mereka bertarung dengan ganas untuk keluar dari jebakan itu tetapi tidak berhasil. Akhirnya barisan sayap Mongolia digerogoti dan orang-orang yang tersisa berlari putus asa, mencoba untuk kabur.

Di saat itu, Sultan sendiri masih terpisah dari pasukannya yang mengepung Mongol. Ia mengawasi dan mempelajari apa yang ia lihat dari sebuah bukit tak jauh dari sana, dijaga oleh legiun pribadinya. Ketika mendapati sayap kiri Mongolia mulai runtuh, ia tahu disanalah saat yang tepat untuk menekan keunggulannya. Sang Sultan melepas helm tempurnya agar pasukannya mengenalinya, ia berteriak, “Oh, Islamku!”—sambil memacu kudanya ke depan, sendirian, menuju jantung pertempuran. Pasukannya, melihat sang Sultan berlari sendirian menuju medan tempur, langsung bersemangat dan berkumpul di belakang sang Sultan dan ikut memacu kuda mereka menuju sayap pasukan Mongol yang telah rusak. Dalam peristiwa pembantaian besar itu, pasukan Mongol yang dulunya terkenal tak terkalahkan, kini lari tunggang langgang. Mereka dikejar, dan setiap usaha perlawanan dari mereka, akan segera dihancurkan. Pada akhirnya pun Kitbuqa sendiri dibunuh, menandai selesainya percobaan ekspansi Mongolia ke Timur Tengah.

Pertempuran Ain Jalut adalah salah satu pertempuran awal untuk membuktikan bahwa pasukan Mongol yang mengerikan itu tidak seutuhnya kebal. Di bawah taktik yang tepat dan kepemimpinan yang baik, mereka nyatanya bisa dihentikan.


Patung kepala yang menggambarkan wajah Qutuz (kiri) dan Baibars (kanan)



SATU-SATUNYA WANITA YANG GABUNG DI LEGIUN ASING PRANCIS





The Légion Étrangère, atau Legiun Asing Prancis-adalah organisasi militer yang terbuka untuk orang-orang dari luar negeri Prancis. Pada 1945, datang seorang Inggris yang bergabung, berbeda dengan yang lain, yang satu ini adalah seorang wanita.

Susan Mary Gillian Travers adalah namanya. Ia lahir di London pada 23 September 1909 di dalam keluarga yang kaya. Ayahnya adalah Francis Eaton Travers, seorang Admiral di angkatan laut Kerajaan Inggris, yang menikahi Eleanor Catherine Turnbull hanya untuk uangnya. Lingkungan keluarganya meskipun kaya, tetapi tidak bahagia. Susan Travers bahkan mengaku dirinya lebih bahagia ketika ia menjauh darinya.

Susan memulai karir dengan menjadi pemain tenis semi profesional, didanai oleh tantenya yang sangat menyukainya (dan membantunya menjadi independen). Ketika Perang Phony pecah pada akhir 1939, Susan sedang tinggal di selatan Prancis dan menyukainya. Ia bergabung dengan Palang Merah Prancis—sebuah keputusan yang dengan cepat mengecewakannya. Selama ini Susan hidup dalam keluarga kaya dan dimanja, jadi pemandangan Palang Merah yang penuh darah tidak sama sekali ia sukai. Ia malah, kemudian, bergabung dengan Pasukan Ekspedisi Prancis sebagai supir ambulans. Pada November tahun 1939, mereka mendapat misi ke Finlandia untuk membantu warga lokal menyiapkan Perang musim dingin melawan invasi Soviet.

Mereka di sana sampai April 1940 saat Jerman menginvasi Denmark dan Norwegia. Pasukan tersebut kabur ke Islandia, dan dari sana mereka kembali ke Britania Raya. Ketika itu Prancis sudah terbelah menjadi dua, yakni Vichy French (Prancis yang bekerjasama dengan pendudukan Jerman) dan Prancis bebas yang melawannya. Susan Travers kembali menjadi supir ambulans, tetapi kali ini dalam pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Charles de Gaulle. Pada September 1940, Susan Travers sedang bersama Sekutu saat mereka menyerang Dermaga Dakar di Senegal untuk mengeluarkan pasukan Vichy Prancis. Mereka gagal, dan mundur ke Afrika Utara melalui Dahomey dan Kongo di mana selanjutnya ia meneruskan tugasnya dan pada akhirnya bisa menghilangkan rasa mualnya jika melihat darah dan luka. Bersama seluruh anggota pria dalam pasukannya, Susan tidak mendapat kesulitan saat dirinya harus mengalami keadaan yang sulit, serta bekerja keras sama seperti para pria. Untuk itu oleh pasukannya, Susan mendapat julukan “La Miss”, semacam bentuk panggilan kesayangan dan hormat untuknya.

Ditugaskan ke Eritrea, Susan melanjutkan tugasnya menyetiri para perwira senior—memperlihatkan kepiawaiannya menghindari ladang ranjau serta tembakan roket dan desingan peluru. Ia tidak selalu beruntung, wanita ini mendapat banyak luka fisik dari beberapa tabrakan dan tembakan-tembakan kecil.


Pada Juni 1941, Susan menjadi supir untuk Kolonel Marie-Pierre Koenig—Komandan pimpinannya dari 1st Free French Brigade. Koenig memang sudah menikah, tetapi namanya juga pria, ia tidak bisa berhenti untuk memadu kasih dengan Susan dan kemudian menjadi pasangan hidupnya.

TENTARA JERMAN TEWAS UNTUK MENYELAMATKAN TENTARA AMERIKA



            Ada kejadian unik pada 7 Oktober 1994 di pemakaman perang di  Hürtgen, Jerman. Pemakaman tersebut adalah tempat istirahat terakhir bagi 3001 orang – Kebanyakan adalah tentara Jerman dan dari Perang Dunia ke-2. Adalah pemandangan umum bagi orang Jerman untuk datang nyekar ke sana. Tapi hari itu, ada sebuah grup yang datang untuk nyekar, dipimpin oleh Letnan Kolonel John Ruggles, pensiunan perwira resimen eksekutif dari kompi infanteri ke-22. Yang unik dari mereka adalah, para veteran tentara Amerika Serikat itu datang untuk nyekar ke sebuah makam perwira Jerman. Kenapa begitu? Untuk mengerti cerita ini, mari kembali ke 1944............


1944....
            Pendaratan yang tersohor di Normandy, D-Day, merupakan peristiwa besar ketika pasukan Sekutu bertempur sedahsyat-dahsyatnya untuk menembus pertahanan Jerman. Dan pada Agustus 1944 akhirnya jebol-lah pertahanan itu, memaksa pihak Nazi Jerman untuk mundur kembali ke negerinya. Terkadang mereka mundur lebih cepat daripada kesanggupan Sekutu untuk maju. Berbuah dari kesuksesan mereka, Sekutu pun melanjutkan serangan-serangan cepat menuju Jerman. Dalam pengejaran itu, pihak Sekutu masih tersandung dengan lambatnya garis suplai mereka sehingga menahan progres dan memberikan Jerman waktu untuk membangun kembali kekuatan mereka. Pada pertengahan September, pasukan Amerika Serikat pertama ingin menyeberangi sungai Rhine ke dalam jantung negeri Jerman, tetapi mereka diblok di luar kota Aachen. Pada Oktober, Divisi Infanteri Pertama Amerika Serikat datang untuk membantu Korps XIX dan VII, yang mana membuat kota itu terkepung tetapi masih menolak untuk menyerah.

            Sebuah rumah petani di rute utama Hürtgen digunakan sebagai markas komando Amerika untuk Resimen Infanteri ke-121, ke-8, Korps XIX, serta Angkatan Bersenjata A.S ke-9. Mereka menamai rumah itu sebagai “Hürtgen Hotel”. Ada pula kekhawatiran tentang Bendungan Ruhr. Pihak Amerika takut pihak Jerman bisa saja menghancurkannya dan air bendungannya akan menyeret pasukan Sekutu hingga ke hilir. Untuk mengamankan bendungan tersebut, pasukan Sekutu harus menembus ke dalam hutan Hürtgen yang tergelar antara kota tersebut dan Ruhr. Hutan itu sangat lebat dan berisi bukit-bukit curam disertai ngarai/jurang. Di pihak lawan, adalah pasukan Jerman ke-275 dan 353 Divisi Infanteri dibawah pimpinan Letnan Jenderal Hans Schmidt. Mereka telah membuat pertahanan di sana dengan memasang ranjau-ranjau, kawat duri, serta jebakan ledak (booby-traps). Mereka juga menggunakan bunker Siegfried Line* (adalah rangkaian pertahanan di sepanjang perbatasan barat Jerman yang dibuat antara tahun 1936-1939 dan telah ditinggalkan selama 4 tahun)—selama ditinggal, alam telah membantu mengkamuflasekannya dengan akar dan dedaunan, menjadikannya bunker yang hampir sempurna tidak dapat terlihat.

            Selain itu, mereka juga mengetahui medannya dengan baik, bahkan beberapa personel memang berasal dari desa sekitar. Dengan keberadaan mereka yang sudah lebih dulu, mereka jauh lebih siap. Sekutu memang sangat superior di angkasa, namun tetumbuhan yang lebat menutupi hutan itu bagaikan atap sehingga pilot Sekutu tidak bisa mengidentifikasi mana kawan dan lawan, sehingga bantuan udara untuk Sekutu pun tidak bisa ikut ambil bagian. Jadi, meskipun pasukan Jerman kalah jumlah 5 banding 1, mereka tetap sulit dikalahkan, ibarat berteman dengan alam sekitar. Pada 19 September, Resimen Infanteri Sekutu ke-60 melakukan serangan tiba-tiba pertama ke hutan itu tetapi dipukul mundur. Mereka mengalami korban sampai 4.500 orang pada 16 Oktober saat Divisi Infanteri A.S ke-28 datang untuk bergabung. Pasukan ke-28 inilah yang kemudian meluncurkan serangan utama ke posisi Jerman pada tanggal 2 November dan mengambil alih kota Schmidt di hari berikutnya sebelum mereka akhirnya dipukul balik lagi oleh serangan balasan Jerman yang kuat. Pada tanggal 4 November, Pasukan Amerika mundur sampai ke Kommerscheidt dimana mereka mencoba memukul mundur musuh. Mereka lalu menyerang Schmidt lagi dan bertarung sampai tanggal 10 November di mana mereka dipaksa harus mundur lagi.

            Letnan Friedrich Lengfeld, berada di dalam pasukan Jerman ke-275 dan kemudian menjadi komandan pasukan untuk Kompi ke-2 saat komandan kompi tersebut meninggal pada Oktober. Pasukannya terkikis saat pertarungan November lalu di Vossenack antara kota Schmidt dan Hürtgen, mereka bertarung mati-matian bersama Divisi Panzer ke-116 yang pada akhirnya berhasil mengeluarkan Amerika dan memaksa mereka mundur. Pada tanggal 10 November, Kompi Lengfeld kepayahan. Grupnya telah terkikis habis dan mereka yang masih tersisa belum mandi sampai berhari-hari. Semuanya mengalami  serangan kutu yang serius, juga kelaparan, kekurangan gizi, dan kedinginan yang parah, serta basah karena salju dan hujan. Mereka telah bertarung untuk sebuah pondok di tengah hutan sebelah selatan (yang sekarang merupakan Pemakaman Perang Hürtgen)—pada saat itu, pondok tersebut digunakan untuk tempat berlindung bagi siapapun pasukan yang berhasil mengamankannya.

Struktur tersebut berada di samping ladang ranjau yang dinamai “Wilde Sau” (Wild Sow*) indonesia=”Taburan Liar”—Oleh pihak Jerman. Pondok tersebut, meskipun bobrok, tetapi bisa digunakan untuk berlindung dari elemen-elemen alam. Di hari berikutnya, Lengfeld kehilangan dua anak buahnya dari tembakan Sniper. Jadi mereka pun bersiap untuk serangan lain. Malamnya, pasukan Infanteri Amerika ke-12 berhasil mengambil alih pondok tersebut, menyebabkan Lengfeld kehilangan lebih banyak orangnya. Selanjutnya, Lengfeld bersama orang-orangnya yang tersisa melakukan serangan balasan dan berhasil mengusir Amerika pada pagi hari esoknya. Nah, saat pasukan Amerika ini lari, salah seorang dari mereka lari tepat menuju ke Wilde Sau dan— BUM!
—Konsekuensi yang mengerikan pun ia dapat.

      Meskipun terluka parah, tentara Amerika itu selamat dan berteriak memanggil-manggil bantuan. Di samping ladang ranjau, adalah jalan setapak yang aman namun dijaga oleh senapan mesin Jerman. Lengfeld memerintahkan Hubert Gees (prajurit komunikasinya) untuk pergi ke si operator senapan mesin untuk tidak menembak prajurit Amerika yang nanti akan datang untuk menyelamatkan korban. Berjam-jam telah lewat tetapi tak satupun ada prajurit Amerika yang datang untuk menyelamatkan korban. Mungkin mereka mengira temannya ini sudah mati, atau mungkin saja mereka lari berpencar sehingga tidak bisa berkomunikasi satu sama lainnya. Hati Lengfeld tidak tega lagi mendengar teriakan tangis si korban ranjau yang mengiba, ia pun memutuskan untuk pergi sendiri dan menyelamatkan korban itu.

    Pondok itu berada di samping jalanan yang dipasangi jebakan ranjau anti-tank yang telah dipasang oleh kompi yang lalu. Sekitar pukul 10.30 AM, Lengfeld memimpin sebuah tim medis di samping jalan tersebut sampai ia berada di seberang tentara Amerika yang tengah terbaring. Ia lalu maju ke ladang ranjau yang ia kira aman, tetapi kakinya menginjak ranjau anti-personel yang tersembunyi dan BUM! – Lengfeld sampai terlempar akibat ledakan tersebut.

  Mereka dengan cepat membawa Lengfeld untuk kembali ke pondok, tetapi semuanya terlambat. Terdapat dua lobang yang dalam di punggung sang komandan, membuatnya menderita luka dalam yang serius. Mereka berhasil membawa Lengfeld ke Stasiun Pertolongan Pertama di Froitzheim, tetapi di malamnya, Lengfeld menghembuskan napas terakhir.
--------------------------------

Itulah cerita di balik pendirian sebuah monumen penanda di pemakaman militer Jerman. Monumen penanda tersebut didirikan oleh perhimpunan Infanteri Amerika ke-22 dan Divisi Infanteri ke-4 Amerika Serikat untuk mengenang jasa Lt. Lengfeld atas usahanya mencoba menolong seorang tentara Amerika. Perang memang mematikan dan kedua belah pihak memiliki pembunuh-pembunuh yang handal. Namun di samping semua kekacauan ideologi, politik, dan peperangan, setiap insan masih memiliki moral tolong menolong. Lt. Lengfeld adalah satu diantara banyak pria yang membuktikannya.

-FIN-

Info Tambahan :
*Identitas tentara Amerika yang terkena ranjau masih belum diketahui.
*Pertempuran Hutan Hürtgenmenjadi salah satu pertempuran terlama selama PD2, bermula dari September 1944 sampai Februari 1945 dan memakan korban 33000 jiwa di pihak Amerika dan sekitar 28000 jiwa di pihak Jerman.

Tertulis pada monumen penanda
"No man hath greater love than he who layeth down his life for his enemy"


Berdiri di belakang monumen, adalah Bob Babcock, veteran dari 
Kompi B-1 Batalion infanteri ke-22, Amerika Serikat.


Foto Lt. Friedrich Lengfeld


SENJATA NUKLIR PORTABEL AMERIKA SERIKAT





Amerika Serikat pernah memiliki senjata nuklir yang bisa dibawa kemana-mana. Penemuan tersebut tidak baru saja ditemukan, melainkan sudah lama dan sekarang justru tidak dipakai lagi. Senjata tersebut bisa dilepaskan dari mekanisme sejenis bazooka.

Segera setelah panggung Perang Dunia Kedua ditutup dengan dikuasainya Berlin dan pengeboman Hiroshima Nagasaki, Amerika Serikat mendapat musuh baru yang potensinya lebih dahsyat. Siapa lagi kalau bukan Uni Soviet. Dengan berbagai arsenal absurd yang mengerikan, Stalin seolah pamer kepada dunia bahwa dia punya senjata yang sanggup membuat Paman Sam merinding ngeri.

Amerika bergerak. Segera setelah pengembangan bom nuklirnya, Amerika Serikat meluaskan program nuklir untuk menahan laju pengaruh Uni Soviet di Eropa Timur. Selama akhir 1950-an dan awal 1960-an, militer Amerika sibuk untuk menggapai mimpi mereka untuk membuat roket peluncur nuklir, dengan cara praktis yakni sanggup ditembakkan dari alat peluncur sekelas bazooka. Dan mereka berhasil. Paling tidak itu yang mereka pikir.

            M-28/29 alias Davy Crockett adalah namanya, dan kawan baru yang cilik namun mematikan ini sudah dites secara sukses oleh Amerika Serikat. Nuklir miniatur ini didesain sedemikian rupa agar bisa digunakan dalam medan pertempuran, jadi ledakannya tidak akan seperti sepupu besarnya yang sanggup meluluhlantahkan kota. Secara aktif sistem Davy Crockett digunakan dari 1961 sampai 1971. Tetapi dilaporkan bahwa senjata ini sangat-sangat tidak akurat dan sama sekali tidak bisa secara efektif diintegrasikan ke rencana perang sungguhan. Meskipun begitu, menurut sumber yang sama, sekitar 2.100 hulu ledak untuknya tetap diproduksi, dengan biaya setengah miliar dolar dari biaya para pembayar pajak.

            NATO di lain pihak, memang mencari penemuan semacam itu untuk menahan potensi Uni Soviet di Eropa. Dan hasil permintaan NATO pun berbuah tatkala Amerika Serikat mengeluarkan model baru, yakni Davy Crockett W54, hulu ledak nuklir paling portabel yang pernah digunakan oleh Amerika Serikat. Jarak tembaknya sekitar 2 setengah mil tergantung penggunaan konfigurasinya. Karena pada saat itu demam Perang Dingin sedang tinggi-tingginya, jadi seolah tak ada satupun orang yang peduli dengan bahaya yang mungkin bisa ditimbulkan oleh nuklir portabel ini. Maka pengembang Amerika memiliki semacam kebebasan dalam membangun apa pun yang mereka anggap tepat untuk melawan ancaman komunis.

Dari 1961 sampai 1971, Davy Crockett secara aktif digunakan meskipun berbagai macam laporan miring terus dilaporkan. Dimanapun senjata ini berada, pasti ada saja laporan kecacatan serius disertai pertanyaan tentang akurasinya, plus, senjata ini juga sulit diintegrasikan ke dalam rencana perang. Niatnya, senjata ini digunakan personil darat untuk dilepaskan dari bazooka ke kerumunan tentara lawan sehingga menciptakan ledakan luar biasa yang bisa mengacaukan strategi musuh. Semakin jauh, efek dari senjata ini semakin dikhawatirkan karena tes yang belakangan dilakukan menyingkap bahwa satu senjata Davy Crockett sanggup meluluhlantahkan area seluas dua blok apartemen dengan daya hancur setara 10 ton TNT.

Foto :



Hulu ledak Nuklir W54 muat dalam ransel yang sungguh menarik namanya : Special Atomic Demolition Munition (“Backpack Nuke”) casing

-          


Davy Crockett sedang dites.




LIMA PERTEMPURAN DENGAN FAKTOR SEMANGAT SEBAGAI PENDONGKRAK KEMENANGANNYA.



1.      PERTEMPURAN AGINCOURT
Bagi orang Inggris, Pertempuran Agincourt adalah sebuah peristiwa legenda. Pada pertempuran tersebut, mustahil sebenarnya bisa dimenangkan oleh pihak Inggris mengingat jumlah pasukan mereka hanya 6.000, dan sudah berhari-hari melakukan mars di tanah lawan (Prancis Utara) dengan pasukan yang sudah babak belur, lapar dan penyakitan. Pertempuran yang terjadi di Agincourt pada 25 Oktober 1415 tersebut adalah antara orang-orang ini yang kebanyakan merupakan para pemanah (longbowmen) yang mengenakan sedikit armor. Melawan 25.000 pasukan Prancis berupa Men-at-Arms, yakni prajurit kaya yang dari atas kepalanya sampai ujung kakinya bergelimang armor logam. Taktik pertempuran memang memegang kunci utama kemenangan, tetapi taktik mereka tidak ada apa-apanya tanpa semangat yang dikobarkan oleh pemimpin mereka, King Henry V, yang menghampiri setiap barisan prajuritnya dan memimpin doa untuk mereka. Kemudian barisan tipis prajurit ini bertahan lagi dan lagi melawan pasukan yang lebih besar dan lebih siap itu. Lama kelamaan pasukan Inggris melawan pasukan Prancis dalam serangan jarak dekat yang brutal dan berakhir dengan Inggris keluar sebagai pemenangnya.



2.      PERTEMPURAN ALBUERA
Semangat pertempuran lagi-lagi menyelamatkan Inggris pada Pertempuran Albuera yang terjadi 16 Mei 1811. Saat pertempuran terjadi, hujan es disertai angin ribut menyapu medan tempur. Pasukan infanteri Inggris ke-3 yang dikenal dengan nama Buffs, mendapati diri mereka dalam keadaan hampir tidak bisa melihat lawan. Apalagi senapan musket mereka sudah basah kuyup. Dalam keadaan payah ini, muncul kavaleri Prancis dan Polandia yang datang dengan tiba-tiba sehingga Buffs belum sempat mengambil formasi defensif. Pasukan Buffs kepayahan. Pemimpin mereka, Letnan Latham, menyimpan bendera resimennya di dalam jaketnya, bahkan ketika lengan dan sebelah mukanya terpotong oleh musuh. Prajurit lainnya berusaha untuk menyetop pasukan Prancis untuk menembus. Diantara mereka, terdapat resimen fusilier ke-57. Kolonel Inglis, komandan dari resimen itu, terkena peluru grapeshot di paru-parunya dan terbaring di medan tempur sambil memaksa pasukannya untuk bersikeras tetap melawan dan jangan menyerah (Die Hard). Dan begitulah pasukan itu melakukannya. Dari 600 orang pasukan di resimen ke-57, hanya 160 selamat. Sedangkan dari 728 pasukan Buff, hanya 85 yang selamat. Tetapi di atas semua itu, keberanian mereka membawa kemenangan pada pihak Inggris. Bahkan komandan Prancis (yang kalah), Marshal Soult, menyalahkan mereka dengan mengatakan “Mereka itu sudah benar-benar kalah! Kemenangan ini milikku tetapi mereka tidak mengerti itu dan tidak mau lari!”



3.      LITTLE ROUND TOP – GETTYSBURG
2 Juli 1863 adalah tanggal terjadinya peristiwa Little Round Top, tepatnya di hari kedua Pertempuran Gettysburg, di rancah Perang Sipil Amerika Serikat. Bukit Little Round Top berada di sayap kiri dari barisan Union, tidak dijaga saat pasukan Konfederasi maju. Kejatuhan Union itu bisa menjadi kesempatan Konfederasi untuk menghancurkan seluruh pasukan Union, memenangkan pertempuran dan mungkin saja memenangkan seluruh peperangan. Pasukan Union baru saja datang, tepat waktu. Di sisi ekstrim itu adalah resimen Maine ke-20, dipimpin oleh Kolonel Joshua Chamberlain. Mereka kalah jumlah 3 : 1, pasukan Maine ke-20 itu bengkok ke belakang membentuk sudut 90 derajat dalam pertarungan jarak dekat. Setelah satu jam, setengah dari mereka lumpuh dan amunisinya mulai menipis. Melihat pasukannya tidak bisa lagi menerima serangan berikutnya, Chamberlain memutuskan untuk mengambil tindakan nekat. Ia memerintahkan pasukan Maine ke-20 itu untuk memasang bayonet dan maju menyerbu ke muka musuh (bersenjatakan senapan)—ketika orang-orangnya mulai goyah, Letnan Holman S. Melcher berlari ke depan barisan, mengayunkan pedangnya dan berteriak, “C’mon Boys!”. Mengikuti keberaniannya, pasukan Maine ke-20 pun terbakar semangatnya dan menyerang hingga turun ke bukit, memecah dua barisan pasukan Konfederasi, bahkan sampai menahan lebih banyak tahanan dari orang-orang yang mereka punya. Sayap ekstrim itu telah aman. Dan kemenangan Union pun telah aman.



4.      PENGEPUNGAN HAMAITA
Terkadang, mengalahkan peluang tidak melulu tentang kemenangan, tetapi juga tentang bertahan hidup. Untuk pasukan Paraguay di pengepungan Hamaita, ini berarti bukan hanya bertahan hidup di wajah musuh mereka, tetapi juga di wajah presiden mereka sendiri. Musim dingin 1867-1868,  benteng Paraguay bernama Humaita mendapat serangan kepungan dari pasukan Brazil dan Argentina, mereka adalah bagian dari koalisi melawan Paraguay yang juga termasuk Uruguay. Paraguay waktu itu berada di bawah kepemimpinan Francisco Solano Lopez, seorang diktator megalomaniak yang ambisi militernya bisa membinasakan negaranya sendiri. Ketika Humaita dikelilingi oleh pasukan yang lebih besar, Lopez memundurkan banyak dari pasukannya dari benteng, hanya meninggalkan sebagian kecil pasukan pertahanan di bawah pimpinan Kolonel Francisco Martinez. Secara komplit dikepung, Martinez dan orang-orangnya tidak bisa mendapat suplai makanan. Mereka terpaksa memakan kudanya sendiri serta akar apapun dari tanaman yang bisa mereka temukan. Mereka mencoba mengusir serangan dari penyerang yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka. Menyadari bahwa situasinya sangat memprihatinkan, pada 19 Juli Martinez memohon agar pasukannya dibolehkan untuk mundur. Lopez tidak setuju, ia menyuruh Martinez tetap bertahan di sana untuk 5 hari lagi. Dan diturutilah perintah itu. Pada saat Martinez mundur pada 24 Juli, ia dan orang-orangnya sudah tidak makan berhari-hari. Mereka telah berhasil menahan benteng dari pasukan yang luar biasa besar dan menuruti perintah yang tidak mungkin. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi setelah pencapaian ini, Lopez tetap saja menyiksa dan menembak prajurit Martinez, berdalih karena mereka bersalah telah (pada akhirnya) menyerahkan benteng itu.




5.      WORCESTERS AT GELUVELT
Pada 31 Oktober 1914, sekutu hampir saja kalah dalam Perang Dunia Pertama. Serangan besar-besaran Jerman di sebelah timur Ypres menghantam Inggris di Gheluvelt, mengancam untuk menembus garis pertahanan sekutu, merusak pasukan Ekspedisi Inggris serta mengambil alih pelabuhan-pelabuhan kanal. Tiga kompi dari Battalion ke-2, resimen Worcestershire, mars ke dalam celahnya. Mereka adalah pasukan simpanan terakhir. Ketika peluru artileri meledak diantara mereka, dan tembakan-tembakan musuh menjatuhkan hampir seratus orang, mereka tidak gentar dan justru maju menyerbu Gheluvelt tanpa rasa takut. Orang yang pecah dari barisan mengatakan kepada sesamanya, “maju sama saja menjemput kematian!” tetapi mereka tetap maju tak gentar. Pasukan Jerman yang lebih banyak tidak pernah menyangka pihak lawan akan senekat itu maju menyerbunya sehingga mereka dikalahkan dalam serangan dadakan itu. Pasukan Worcesters mengambil alih Gheluvelt, dan dengan ini, diselamatkanlah garis pertahanan sekutu. Sebagaimana Field-Marshal Sir John French berkata, “The Worcesters saved the Empire.”



Sumber dari www.Warhistoryonline.com.

LAVINIA WARREN ADALAH WANITA KERDIL YANG DISUKAI





Mercy Lavinia Warren Bump lahir pada 1842 di Massachusettes. Ia dan saudara perempuannya Huldah Pierce Warren Bump mempunyai proporsi tubuh kerdil yang didapat dari kelainan yang bisa disebabkan bilamana sepupu dekat kawin dan punya anak. Kasus ini memang yang melanda keluarga Warren Bump. Orang tua Lavinia dan Huldah adalah sepupu keempat. Terlepas dari kekurangannya, keluarga mereka sudah lama dan sangat dihormati di New England. Bahkan duo kakak beradik ini sekolah secara normal dan menghabiskan masa kecil yang damai tanpa olok-olok. Di umur 16 tahun, Lavinia mulai mengajar di sekolah.

Ia adalah seorang guru yang hebat, dicintai oleh muridnya dan dihormati oleh orang tua murid dan koleganya. Meski begitu, ia berhenti mengajar dan mendedikasikan dirinya untuk manggung di ‘miniature dancing chanteuse’ di sebuah perahu teater di Mississippi. Perahu itu dimiliki oleh sepupunya. Ia sangat suka menari dan begitu menikmati pertunjukannya. Saat umurnya 20 tahun, P.T. Barnum melihatnya di salah satu pertunjukannya dan dengan segera menawarkan pekerjaan untuknya. Pada 1863, Lavinia muncul di museum untuk pertama kalinya. Tingginya adalah 81 cm, beratnya 13 kg dan dijuluki “The Queen of Beauty” oleh Barnum. Selama periode ini Lavinia bertemu dengan Jenderal Tom Thumb dan Komodor Nutt, dua orang kerdil yang paling terkenal dan paling sukses yang jatuh hati kepada Lavinia.
Komodor Nutt dengan seragamnya

P.T. Barnum

Jenderal Tom Thumb bersama Lavinia.

            Diantara mereka, Nutt adalah yang paling muda tetapi yang paling tergila-gila kepada Lavinia. Pernah sekali, Barnum memberikan sebuah berlian dan cincin zamrud ke Lavinia, tetapi salah satu cincinnya tidak muat di jarinya, jadi Lavinia meminta Barnum untuk memberikannya saja ke Nutt sebagai tanda persahabatan mereka. Tetapi aksi itu disalah-artikan oleh Nutt (yang terlampau percaya diri) sebagai gerakan cinta. Maka ia pun menjadi lebih agresif dalam mengekspresikan rasa sukanya pada Lavinia. Lavinia sendiri tidak merasa nyaman dengan situasi ini. Ia melihat Nutt hanya sebagai seorang anak muda dan seorang teman, sedangkan ia melihat dirinya sebagai wanita (baca: dewasa)

            Saingan Nutt, yakni Thumb, belum ngumpul dengan mereka pada waktu itu, tetapi di hari ia bertemu Lavinia, ia mengaku kepada Barnum bahwa ia mencintai Lavinia. Thumb paham Nutt juga suka Lavinia dan strategi Thumb adalah untuk berteman dengan Barnum hingga pria itu membela sisinya. Karena dengan cara inilah hati Lavinia bisa dimenangkan.

            Jadi, Thumb memberitahu Barnum bahwa dirinya berniat untuk menikahi Lavinia di sebuah upacara publik. Acara publik tentu memakan biaya besar dan didatangi para petinggi, Barnum pun meyakinkan Lavinia untuk menikahi Thumb karena Thumb, selain terhormat, juga seorang kaya raya. Nutt sangat cemburu, antara dirinya dan Thumb pernah terlibat perkelahian di ruang ganti pakaian Museum.

            Mereka semua diundang untuk menghabiskan akhir pekan di rumah Barnum. Nutt mengira di sana nanti ia akan bisa memenangkan hati Lavinia, tetapi siapa sangka ketika ia sampai ke rumah tersebut, Thumb dan Lavinia sedang berduaan. Belakangan Nutt mengetahui bahwa Thumb telah melamar Lavinia dari seminggu lalu dan Lavinia telah menyetujuinya. Nutt tidak bisa memaafkan Thumb dan Barnum yang bersekongkol—ia mengatai mereka “pengecut yang sudah licik dari waktu yang lama.”

            Barnum merasa tidak enak juga dengan Nutt. Ia pun berupaya untuk mencomblangi Nutt dengan adik Lavinia, (Huldah), tetapi Nutt mengatakan pada Barnum; “Semenjak aku tidak bisa menikahi wanita terbaik yang pernah hidup, aku tidak tertarik dengan wanita lainnya!”
            Pada tahun 1863, Barnum merancang tema “Pernikahan Peri” untuk acara Thumb dan Lavinia. Mereka menikah di Gereja Grace Episcopal, New York City, sedangkan resepsinya mengambil tempat di Metropolitan Hotel, Broadway. Saking hebohnya pernikahan dua orang terkemuka ini, lalu lintas di jalan sekitarnya sampai dihentikan oleh polisi karena dua ribu orang diundang untuk kondangan ke sana. Dalam pernikahan itu, Nutt menjadi best man-nya sedangkan Huldah menjadi bridesmaid-nya. Nutt memberikan Lavinia sebuah cincin berlian sebagai hadiah pernikahan.


            Thumb dan Lavinia menjadi pasangan yang sangat terkenal. Mereka pernah diundang oleh Presiden Abraham Lincoln dan istrinya di Gedung Putih. Mereka memiliki kisah pernikahan dan karir yang sukses. Di masa itu, mereka setingkat milioner masa sekarang. Sayangnya, mereka hanya punya satu anak perempuan yang meninggal muda. Tom Thumb meninggal mendadak karena stroke pada 1883, di umur 45 tahun. Dua tahun setelah kematiannya, Lavinia menikahi seorang kerdil Italia, Count Primo Magri. Mereka hidup bahagia sampai Lavinia meninggal pada tahun 1919 di usia 77 tahun. Magri meninggal di tahun berikutnya.